Puasa Yang Berbeda

Ini bukan essay,
bukan juga makalah.
tapi cerita tentang bagaimana zaman berubah dan mengubah kebiasaan.

Di tahun-tahun ketika aku SMP, anak-anak seusiaku punya kebiasaan tersendiri menyambut bulan puasa. Saban hari, ketika usai sembahyang tarawih, kami menyalakan petasan. Petasan kentut (hanya keluar asap yang berwarna-warni), petasan lempar yang bunyinya “tuk”. Dari petasan itu muncul imajinasi seperti bermain sesembahan atau mengelilingi petasan kentut yang keluar asap, seolah kami adalah manusia purba. Tidak hanya itu, berbagai permainan juga meramaikan jalanan rumah. Main batu tujuh, bentengan, kucing dan anjing, orang kaya dan miskin, gangsing atau bahkan sekadar main kotak pos. Kami tidak menyentuh gadget, kami sibuk, amat sibuk mengisi pikiran dengan permainan.

Selepas bermain dari sembahyang tarawih, di jam 9 atau lewat, kami masuk rumah masing-masing. Begitu sahur dan menjelang subuh, kami akan keluar rumah dan sembahyang berjamaah di masjid. Kalau zaman sekarang masjid ramai hanya di hari awal puasa, zaman saat aku kecil tidak demikian. Karena subuh ada waktu yang asik untuk sembahyang setelahnya bermain. Justeru tidak menjadi soal bagi kami untuk olahraga jogging di area Regency selepas subuh. Kami manjat ke tanggul belakang komplek dan akan jalan menyusuri jembatan, di bawahnya kali dan banyak semak-semak. Kami tidak takut, justeru ini petualangan yang menyenangkan. Biasanya kalau jogging, kami hanya jalan-jalan saja di area Regency, pulang-pulang jam 10 pagi, sampai di rumah tinggal mandi dan tidur sampai siang. Atau, kalau kami tidak jogging ke Regency, kami akan main kartu di depan rumah, main masak-masakan, gundu atau bermain monopoly. Ya, dulu, monopoly jadi permainan seru. Tanpa sadar, sebenarnya kita sedang belajar mengatur strategi.

Tidak hanya sibuk bermain di bulan puasa, kami; aku dan teman-teman rumah ikut pesantren kilat yang diadakan di komplek. Kami berburu hapalan, berbondong-bondong ikut supaya bisa ngaji Al Quran. Apalagi saat zaman SD, pesantren kilat paling dinanti-nanti. Dan tentu saja yang juga berkesan di bulan puasa pada zaman itu adalah ketika selepas tarawih, anak-anak sekolah sibuk berburu tanda-tangan imam tarawih karena mendapat buku ramadhan dari sekolah dan harus diselesaikan.

Itu dulu, zaman ketika gadget belum menjadi berhala untuk anak-anak kecil. Zaman ketika bermain tidak pernah menjadi penghalang dalam belajar untuk tetap berpuasa. Permainan yang menjadikan kami belajar untuk menjaga pertemanan dan persahabatan. Permainan yang tidak diukur dengan nilai uang, tetapi menanamkan nilai-nilai kemanusiaan untuk saling menjaga, mendengarkan, dan berbagi.

Jika kemudian kita tengok hari ini, kerinduan-kerinduan akan puasa di zaman dulu itu mengukir keras di jejak aspal. Tentu saja, berubahnya zaman mengubah kebiasaan, tidak ada lagi tradisi main petasan kentut dan memutarinya seperti orang-orang zaman purba dalam dongeng atau cerita yang kami ketahui, atau jogging ke Regency dengan manjat tanggul dan menyebrangi jembatan, bermain monopoly ataupun kartu. Sekarang, anak-anak sibuk menggelar youtube dengan banyak channel yang konon mendidik. Entahlah.

Bagaimanapun,
perubahan yang terjadi saat ini harus disambut dengan keikhlasan dan kemantapan.

Selamat Berpuasa bagi yang menjalankan.
Damai untuk kita semua, umat manusia.

Oleh D
Umah Bapak, 6 Mei 2019

Tinggalkan komentar