Arsip Kategori: Mama

2022 berlayar di laut lepas

Aku tak pernah mengira, tahun 2022 menjadi tahun dimana aku sempat berlayar tanpa kompas dan tujuan, hanya terombang ambing di lautan, dihantam badai dengan diameter barangkali 2.220 kilometer dan kecepatan mencapai 305 kilometer per jam atau bisa jadi lebih dari itu. Persis seperti yang terjadi di Pulau Marshall dekat Filipina, badai besar yang mendekati Jepang tahun 1979 itu kini hadir menerjangku dengan ganas dalam waktu yang lama.

Di tengah badai itu, aku menyadari betapa ringkihnya diri ini, tidak ada apapun yang ada di dunia yang benar-benar ada, sebab semua akan berpulang–semua akan tiada. Aku sangat ingat apa yang dikatakan Kyai, “kita ini sebenarnya tidak ada, tapi di-adakan dan akan kembali tidak ada”. Ya benar, hanya Dia Yang Maha Ada.

Lewat badai yang datang itu, Allah senantiasa mengingatkanku bahwa hanya denganNya, aku bisa bertahan. Hanya bersamanya, segala yang berat mampu dijalani, hanya karena izin dan kuasanya, di atas kesedihan masih ada kebahagiaan yang perlu disadari. Dan tahun 2022 pula, aku bersama Iqbal memutuskan untuk hidup bersama. Tidak pernah aku bayangkan, lahir dari rahim siapa dan menikah dengan siapa. Sungguh, hal-hal itu tak pernah sampai di pikiranku. Sebab, kehidupan, kematian, rezeki, dan jodoh adalah rahasia Allah.

2022 aku berlayar di lautan lepas,
tanpa kompas,
tanpa tujuan,
hilang arah,
hilang daya,
tapi, bukankah pak Rendra telah mengingatkan kita dari waktu yang terlampau jauh itu, ketika ia bilang dalam sajaknya,

Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku tetapi hidup yang tidak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya
…..
Aku juga merasa bahwa kemaren dan esok adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan sama saja
Langit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwa


Maka, hidup adalah pertarungan,
bertarung dengan badai yang datang,
bertarung dengan ketidakpastian,
bertarung dengan kesepian,
bertarung dengan kesedihan,
bertarung dengan kesendirian,
bertarung dengan rasa takut,
bertarung dengan rasa sakit,
bertarung dengan diri sendiri

Mak, 2022 dirimu memang telah berpulang,
Kau telah sempurna menghadap Dia Yang Maha Ada,
Kau membuktikan dan menunjukkan dengan jelas padaku bagaimana kau berjuang untuk hidup dan bertarung dalam hidup,
Kau hidup menjadi orang baik–semua orang mengakuinya,
Tukang bakso, tukang jahit, tukang bubur kacang, tukang fotocopian,
orang-orang yang pernah berinteraksi denganmu menangis karena kepulanganmu,
orang-orang itu bersaksi kau adalah manusia baik di bumi ini,
Mak, 2022 dirimu memang telah berpulang,
tapi semangat dan daya juangmu akan terus hidup dalam diriku

Mak, semoga 2023 menjadikanku manusia yang tak kehilangan daya dan fitrahnya,
semoga menjadikanku manusia yang mampu memanusiakan manusia lainnya,
semoga menjadikanku anak baik sehingga dimanapun dirimu berada dalam perbedaan waktu dan dunia, kau akan selalu bangga denganku, Mak.

Mak, Aku Cinta Padamu
Withlove,
D
Rumah Mamak, 1 Januari 2023


Menjelang Satu Tahun Mamah Berpulang

Menjelang satu tahun mamah berpulang,
hati belum juga terasa ringan,
kesedihan masih menggantung di pelupuk mata,
rasa sakit yang undefinisi ini seperti virus yang menemukan inangnya di tubuh saya,

Menjelang satu tahun mamah berpulang,
Capture ketika mamah bernafas untuk terakhir kalinya, pakaian yang ia kenakan, kalimat syahadat yang saya bisikan di telinga kirinya, dan tatapannya yang siap menghadap dan kembali pada Sang Pencipta, menjadi gambar yang abadi dalam hidup saya. Potret yang semesta tinggalkan untuk saya. Kenang-kenangan menyakitkan yang terus terbawa hingga hari ini.

Seharusnya saya bahagia mamah sudah tak sakit lagi. Tentu saja!
Seharusnya saya ikhlas ia kembali pada Sang Pencipta. Tentu saja!
Tapi ditinggal seorang ibu adalah bagian dari kiamat. Bagi anak yang sudah kehilangan ibunya, pasti mengerti ‘rasa sedih’ yang saya maksud.

Menjelang satu tahun mamah berpulang,
saya dimimpikan olehnya dan kakanya (Uwak Nunung yang kini sudah bersama dengan mamah dipangkuan Tuhan). Di alam mimpi itu, saya sedang panik kenapa mamah belum sampai juga di rumah, ia sedang pergi ke rumah Uwak. Lalu, saya telpon uwak,

“Wak, mamah kapan pulang?” kata saya demikian.
Lalu, uwak saya menjawab, “Idat, emak sudah gak ada, sekarang Idat harus siap apa-apa sendiri.”
“Terus pulangnya kapan?” Saya seperti keras kepala terus bertanya kapan mamah saya pulang ke rumah.
“Ya sebentar lagi sampai.” Tutup uwak saya. Tak lama kemudian, mamah datang dengan pakaian serba putih, wajahnya Masya Allah cantik luar biasa, putih bersih dan bersinar, mamahpun tampak muda. Saya menggandeng tangannya, kami berjalan-jalan menyusuri ruas jalan yang entah saya tak begitu ingat dimana.

“Idat, kenapa pegangan tangan terus?” kata mamah
“Gpp, biar mamah gak pergi” kata saya demikian
“Mamah disini terus, gak kemana-mana. Idat yang kuat, jangan cengeng.” Waduh pesan jangan cengeng itu berat banget, ketika saya terbangun saya sangsi apakah saya mampu melakukannya dengan baik?

Menjelang satu tahun mamah berpulang,
Ketika terbangun dari mimpi yang berakhir dengan jalan-jalan, saya sadar bahwa mamah senantiasa ada disini–di hati saya–dalam pandangan saya–dalam senyum dan tetes air mata–dalam kesedihan dan kebahagiaan–di setiap langkah saya–dalam keputusasaan–dalam perjuangan yang melelahkan–dalam keinginan kuat untuk hidup lebih baik demi dirinya.

Menjelang satu tahun mamah berpulang,
Rasanya tidak karuan,
Saya melihat diriku dalam baris-baris sajak Pak Rendra,
Ya Pak Rendra, suaminya bu Ken Zuraida, seorang guru dan ibu yang turut mendidik dan membentuk saya,

hidup memang fana,
tetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak ada
kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara

Sepi dan sendiri,

Alfatihah untuk mamah
Bogor, 17 Desember 2022,
With love D

Selamat Ulang Tahun, Mak!

Hari ini menjadi hari yang istimewa,
jika ia masih ada disini bersama,
barangkali satu loyang kue kuhantarkan untuknya,
kini tak ada lagi kue yang membuat ia tersenyum dengan ekspresi yang sama,
tapi kupercaya doa amat sangat dapat menjadi makna

Mak, di hari lahirmu,
hanya doa yang bisa kupanjatkan,
barangkali dengan begitu kau akan jauh lebih bahagia,
dan merasa lega

Selamat ulang tahun, Mamak.
Terima kasih telah menjadi ibu yang begitu amat kubutuhkan,
menjadi ibu yang memberi banyak cinta

Aku Cinta Padamu,
Oleh D

Confession

Mak,
Bagiku tempat terbaik berlindung adalah rahimmu,
bagiku tempat terbaik tertawa adalah di hadapanmu,
bagiku tempat terindah untuk hidup adalah berada di sisimu

Mak,
hadirlah dalam hatiku, selamanya,
hadirlah dalam siang dan malamku yang fana,
hadirlah di tiap langkahku yang kadang tak tau arah,
barangkali hanya dengan begitu kubisa lihat waktu berjalan dengan sempurna

Mak,
dunia adalah tempat perjudian,
modalnya hanya kepercayaan,
tapi aku kerap kali kalah
sebab ku penjudi yang payah
Tanpamu, aku gagap menyusun rencana,
manusia tanpa rencana yang telanjang tanpa kata,
sepi ditemani doa-doa

Untuk emak,
Aku Cinta Padamu

Ditulis dalam gerbong kereta, kucari kamu Mak,
tapi aku hanya melihat kesedihan

With love D,
4 April 2022

Dear Mamak,

Dear Mama,
Kata pertama yang selalu dan selalu Idat bilang adalah terima kasih, ma, terima kasih. Mak beri banyak cinta, kasih sayang, doa, pelajaran dan kekuatan untuk Idat. Dan kalimat berikutnya adalah maaf. Maaf untuk semua luka dan air mata yang pernah Idat kasih, maaf karena kesempatan untuk membahagiakan mamak tidak Idat berikan dengan sempurna, maaf hal-hal yang Mak inginkan tidak bisa Idat wujudkan ketika Mak masih sehat.

Mak, Idat sedang belajar dari kesedihan yang datang bertubi-tubi.
Idat sedang belajar dari kesepian yang tak kunjung pergi,
Idat sedang belajar menerima keputusan Allah tanpa bisa dipungkiri,
Setiap titik kekuatan ternyata tidak datang dari Idat sendiri,
datang dari proses didik-tumbuh dan doa dari mamah serta kekuatan dari Allah untuk diri yang papa ini,

Mak, sudah 6 bulan mak tidak ada disini,
tiap orang diluar sana yang kenal dan tidak tahu bahwa mama sudah gak ada, ternyata masih turut mendoakan,
“semoga mamahnya cepat sembuh ya”.
Rasanya seperti hujan datang menghantam kepala dan hati,
Terharu karena mamah dikenal dan didoakan orang-orang, sedih karena dirimu telah sampai pada yang Maha Sempurna.

Mak, ternyata hidup ini memang fana,
banyak kata-kata berhamburan dan terbang memusingkan kepala,
banyak luka yang kapan saja bisa menempel di badan kita,
banyak suka yang datang dan cepat pula perginya,
hidup adalah persoalan bagaimana mengolah pikiran kita,
hidup adalah daya juang,
berjuang mengalahkan ego dan dirinya,
berjuang untuk menjadi hamba yang layak di mataNya,
berjuang menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya,
berjuang menjadi manfaat bagi alam semesta,
berjuang untuk menyadari bahwa kita bukan apa,
kita hanya sedang berjalan dan berlari menuju hari akhir untuk bertemu denganNya

Mak,
Mampukah Idat menjadi hamba yang layak untuk bisa bertemu dan memeluk mamak?

Rumah Mama,
28 Juli 2022

Cintanya Abadi

Dibalik semua kesedihan dan rasa sakit ini, ada bijaknya saya berterima kasih pada Allah, detik-detik Mak berpulang menuju Kekasihnya, saya diberi kesempatan untuk berdua dengannya. Menangis di hadapannya memohon maaf karena saya yakin tak ada kebahagiaan yang pernah saya berikan padanya (saya hanya berspekulasi dan menilai secara subjektif). Pada detik-detik itu pula, saya ciumi tangannya, wajahnya, dan saya katakan bahwa saya amat sangat menyayanginya. Lalu, waktu berjalan amat sangat cepat, hingga kami mengantarnya pada gerbang akhir kehidupan, saya lihat nafasnya yang terakhir. Jam 16.15 cintaku telah berpulang.

Saya pernah membayangkan kematian menghampiri saya, Mak, bapak, adik-adik, dan bahkan orang-orang yang saya kasihi. Tapi tak pernah saya duga, perempuan yang paling apik, tidak pernah makan macam-macam, minum-minuman aneh, paling rajin olahraga adalah orang pertama yang harus menghadapNya. 

Setiap kali melihat teras, tanaman, warung, ruang tamu, ruang tengah, kamar, tumpukan baju, foto-foto yang tertata rapie, kasur dan seprai, baju kotor di bak, dapur, alat-alat kue, tas yang menumpuk, piring-piring koleksinya dari tahun 1993 bahkan jauh dari pada tahun itu, ruang atas tempat ia menggosok di depan televisi, balkon atas, jemuran, westafel, toilet dan setiap hal-hal kecil di rumah ini selalu menggambarkan bahwa itulah mama. Semua ini miliknya, dia meletakan dirinya pada benda-benda kecil dan besar, pada setiap ruang, dan tidak ada ruang untuk saya berpaling darinya.

Saya kini merasakan apa yang selama ini sering kali dia omelkan pada saya, “Kalau sudah tidak ada mama baru terasa nanti, Idat”. Ya, sangat dan amat sangat. Mama adalah jantung, nadi, dan nafasnya rumah. Tanpanya, rumah ini bukan apa-apa.

Apa yang akan saya sampaikan ini mungkin sama dengan apa yang disampaikan ribuan orang diluar sana yang juga senasib dengan saya — yang juga telah ditinggal oleh sosok mama, bahwa sebesar apapun cinta yang kita berikan untuknya, tak akan pernah bisa mengalahkan cinta yang mama berikan untuk kita. Ia bagaimanapun ia, akan menjadi sosok yang selalu hidup dalam hati anaknya, ada ikatan-keterhubungan yang mungkin tak akan pernah cukup terdefinisikan oleh sebuah Bahasa. Tetapi, teruslah berusaha mencintai mama, melakukan hal-hal baik untuknya sepanjang nafasmu, sepanjang nafasnya. Teruslah berdoa untuknya, karena hanya dengan doa kita akan selalu terhubung di dunia yang semu ini ataupun di dunia yang abadi sebab mama dimanapun ia, saya percaya bahwa cintanya untuk kami abadi.


With love,
D

Pondok Kacang Barat
02-02-2022

Kesedihan dan Keberkahan

Apa yang diberikan Allah kepadaku, aku sebagai manusia biasa menyebutnya adalah sebuah ujian yang penuh dengan air mata, yang perlahan mematikan perasaan, dan mengaburkan harapan pada dunia yang kini terlihat semakin semu, tetapi tidak padaNya, Ia menyebutnya sebagai tanda cinta, kasih sayang, dan keberkahan. Begitulah kenyataannya, apa yang aku lihat tak sama dengan apa yang Ia lihat—tentu saja, sebab keterbatasan ada padaku tidak padaNya. 

Kau akan mengerti lukaku, begitupun dengan aku bila kita telah sama-sama merasakan. Kupikir cukup dengan kehilangan dia, merobohkan langit biru di hidupku dan serangkaian mimpi yang dibangun dari waktu ke waktu, tetapi kemudian, aku kehilangan separuh jiwaku, Mama. Selama ini aku berpikir aku mampu berdiri sendiri, melewati proses demi proses, menghadapi kesepian dan kesendirian, tetapi ternyata tidak. Itu semua bukanlah kesepian, bukanlah kesendirian sebelum pada akhirnya aku menemukan “kehilangan”. 

I lost every thing, but I don’t have anything. 

Apa benar aku mengalami kehilangan jika sebenarnya aku tak pernah memiliki apapun di dunia ini? Hilangnya perasaan dia diluar dari batas kemampuanku sebagai manusia, berpulangnya mama menjadi bukti bahwa semua benar-benar akan kembali padaNya. Perasaannya yang dulu begitu hangat kepadaku kini seperti bejana raksasa yang berisi setetes air mata, ter-la-lu hampa dan dingin, dan mama bukan milik aku melainkan milik Sang Pencipta. Maka, kata apa yang bisa aku gunakan untuk menggambarkan perasaanku kali ini? Mewakili kesedihan yang berkepanjangan ini? Kebuntuan pikiran menemukan bahasa untuk menjelaskan betapa kesedihan ini amat sangat menyiksa. Betapa sakitnya hati dipukul setiap saat oleh entah siapa dan tak ada yang bisa kulakukan selain menyerahkan semua perasaan dan diriku pada kenyataan. Ya, silakan pukul hati ini sebanyak yang diinginkan hingga tak ada lagi alasan membuatku menangis. 

Mungkin bagi seorang pejalan, apa yang terjadi padaku adalah sebuah keberuntungan—bahwa Allah benar-benar mencintaiku, ia memerhatikan aku, ia menginginkan aku jauh lebih kuat dari hari ini, lebih tangguh dari kesedihan yang datang berton-ton, menemukan jalan keluar dari keterpurukan dan biarkan Dia yang bekerja. Semoga aku tetap tegar di dalam perjalanan. 

Catatan di hari Imlek
Oleh D
1 Februari 2022

Selamat pagi, Mama

Hai Ma,
Selamat pagi, kamu sedang apa? dan apa yang sedang kau saksikan pagi ini? Apakah kamu sedang lihat aku yang lagi menulis? atau Budi yang baru pulang dari pasar antar nenek dan sekarang dia tertidur? atau lihat bapak yang duduk termenung di depan pohon jambu? atau Anggun yang sedang main handphone sama seperti biasanya.

Kau pasti tak akan bertanya kemana Tenten? Karena kau yang paling tahu bahwa ia pergi keluar rumah. Sudah dua malam Tenten gak pulang, dan kami cemas-terutama aku. Dua hari ini hujan turun sangat lebat, menyiram yang kering, meneduhkan yang panas, tapi jejaknya ternyata menyisahkan kecemasan dan kesedihan yang bertubi-tubi padaku. Aku merindukan mama dan mencemaskan Tenten, apakah dia bisa makan dengan baik? Bagaimana pup dan pipisnya? Bagaimana tidurnya? Aku merindukannya pula.

Aaahhh, Ma,
Aku ingin teriak, tapi mulutku terbungkam,
tapi ku yakin kau bisa menyaksikan, hatiku telah menjerit sekeras-kerasnya, menabuh gendang kesedihan di setiap detiknya, dan ternyata tubuhku meresponnya dengan diam.

Hai, Ma
Di Jumat pagi ini aku gak ke makam, tapi begitu selesai kerja dan semoga langit terang, aku akan datang.

Aku kerja dulu ya.

With love,
D

Kabar yang Tak Pernah Ingin Saya Dengar

Kami sampai di Siloam Mampang kurang lebih pukul 00.30. Mamah diturunkan dari ambulance. Saya melambaikan tangan dan tak henti-hentinya berteriak “semangat mak, semangat ya, insya allah cepet sembuh”. Berharap kata-kata itu menjadi penguat untuk mamah dan saya.

Kami masih menunggu di lobby. Tidak ada keluarga yang diperbolehkan masuk karena ini rumah sakit khusus penanganan Covid-19. Seorang dokter datang, laki-laki namanya Niko. Dia memberi paparan yang menyeramkan. Ya entah ada apa dengan rumah sakit, saya selalu gugup mendengar penjelasan dokter. Benar saja, dokter memberi paparan kurang lebihnya begini, mungkin ada sedikit redaksi yang berubah karena persoalan daya ingat.

“Kondisi mamah ini berat, pasien punya komorbid, sesak di paru, dan Covid. Ada berbagai kemungkinan, dia sesak karena paru-paru, atau sel cancer menyebar ke paru-paru. Tapi yang paling utama yang harus ditangani adalah Covid nya terlebih dahulu..”

Saya dan keluarga masih menyimak, dan ia melanjutkan.

“Hal terburukan bisa terjadi, karena itu pasien akan diinfus dengan cairan penopang jantung. Kemungkinan buruknya adalah pasien bisa dipindahkan ke ruang ICU karena alat-alat di ruangan ICU lebih lengkap dari HCU. Dan jika pasien mengalami gagal nafas, akan segera dipakaikan ventilator.”

“Apa itu ventilator?” Saya mulai cemas.

“Oke, saya jelaskan ya, ventilator alat untuk membantu pernafasan pasien. Nanti akan dibolongkan lehernya untuk masuk alat pernafasan itu. Ini kemungkinan paling buruk ya, Bu.”

Saya merinding mendengarnya. Apakah mamah saya separah itu?

Saya tak beri keputusan apapun, ingin sekali berkata “yang terbaik aja buat mamah” tapi ragu saya ucapkan, saya lebih baik berkata dan berdoa kepada Allah saja. Mata saya mulai berat, bukan karena ngantuk tetapi karena sudah amat lelah. Pikiran saya capek sekali dikepung rasa takut yang besar. Selesai menemui dokter dan mendengarkan semua penjelasannya itu, saya diarahkan ke bagian resepsionis untuk mengurus berbagai berkas.

Bertemu dengan bagian resepsionis, tak juga membuat saya nyaman. Di rumah sakit ini hanya berlaku sistem pembayaran Kemenkes yakni serupa BPJS (begitu menurut paparan resepsionis) yang bagi saya sih tak sama. Karena jika pasien sudah dinyatakan negatif Covid, maka pembiayaan ditanggung pribadi oleh pasien atau dirujuk ke rumah sakit lain. Bapak saya bertanya, berapa biaya yang harus dikeluarkan jika itu terpaksa pribadi? Resepsionis bilang kebanyakan diatas 100 juta untuk beberapa hari. Kami lemas. Spontan, bapak bilang ke resepsionis kalau kami tak sanggup bayar segitu. Saya diam saja, tapi pikiran saya terus bekerja bagaimana mensiasati supaya mamah tidak terjebak dalam situasi yang semakin menyakitkan ini.

Begitu selesai menandatangani berkas, bapak ke toilet. Di depan pintu toilet yang sepi kamu duduk. Memandang kaca besar, lemas, sedih, sekaligus bingung. Dari mana saya dapat uang sebanyak itu dalam waktu dekat untuk berjaga-jaga? Ah, nggak. aku harus berpikir lebih taktis dan cerdas. Kami keluar dari gedung, di depan pintu masuk ada tetangga yang ikut ke rumah sakit sedang ngobrol dengan security, saya dan bapak ikutan nimbrung. Dan barulah kami tahu, biasanya yang menginap atau dirawat disitu ada yang bayar sampai 64 juta dalam 3 hari. Tetapi saya punya solusi lain, yakni jika dinyatakan negatif saya akan bawa mamah pulang, atau kalaupun dirujuk–kembali ke rumah sakit awal yang memang menerima BPJS.

Sementara, itulah keputusan sehat yang saya ambil. Kami bergegas pulang. Dalam perjalanan, saya temui sepi, sakit, dan kerinduan yang dalam pada mamah. Sepanjang perjalanan pula saya temui dosa-dosa saya padanya, inikah jalan dan hikmah yang saya dapatkan? Haruskah saya diposisi seperti ini dulu untuk sadar bahwa saya bukan apa-apa tanpa mamah dan menurunkan ego saya untuknya.

Pagi ini saya bangun masih dengan pikiran yang sumpek, hati yang gelisah. Dokter menghubungi saya, katanya mamah harus dipindah ke ICU segera. Saya dan bapak masih menimbang, perasaan ini begitu tak nyaman dan tak percaya. Kami belum menyetujuinya, bahkan ketika diminta persetujaun menggunakan ventilator, semua masih kami gantung.

Pagi itu saya bergegas ke rumah sakit mengantarkan makanan. Kebetulan pula, dokter yang mengurus mamah mau bicara dengan pihak keluarga, bicaralah ia pada saya. Ia katakan bahwa, mamah dalam keadaan tidak stabil. Berulang kali ia menegaskan ventilator, ruang ICU, dan tambahan harus cuci darah karena ginjal bermasalah.

Saya bingung, kenapa tiba tiba ginjal? katanya ada penurunan fungsi ginjal dan air pipisnya sedikit. Lalu dokter katakan, cuci darah satu kali dulu saja, mungkin karena ginjal mengalami syok. Kemudian akan dilihat lagi, jika kondisinya membaik bisa berhenti cuci darah.

Saya melongo, yang saya dengar ini benar? Setahu saya cuci darah seumur hidup. Saya diam saja, mau tahu sampai mana dokter menyampaikan semuanya.

Ternyata sudah dengan menekankan kemungkinan terburukan yang bisa terjadi pada mamah. Bumi seperti rubuh tepat di diri saya. Kemudian saya minta adik mengantar saya ke pak haji di Cijantung. Saya telat tidak ketemu pak Haji, tetapi ketemu asistennya dan beliau bilang bawa pulang mamah.

Saya penasaran sebenarnya sebelum ketemu pak Haji. Saya bingung apakah saya sedang dipermainkan? Kemana saya harus meminta pendapat dan pengetahuan? Tetapi saya bersyukur,teman-teman di jaringan dan pergerakan banyak sekali menolong saya. Mereka memberikan berbagai arahan bahkan kesempatan konsultasi ke dokter lain sehingga saya bisa dapat pertimbangan dan pemahaman. Saya bersyukur dikelilingi orang baik.

Masih di hari yang sama, hari pertama mamah di rs rujukan itu. Kemudian seorang dokter menghubungi kembali dan mempertanyakan pernyataan keluarga soal cuci darah kami masih menolak dan rs masih berusaha menjelaskan kondisinya. Sampai kemudian dokter jaga mengatakan ada kanker paru-paru. Begitu kami pertegas maksudnya kanker paru-paru bagaimana, dokter baru mengatakan ada indikasi ke arah sana. HAH?

Sebenarnya saya udah mulai pusing dengan semua penjelasan dokter. Rasa takut makin besar dan saya tak tahu harus percaya pada hati, atau tidak. Hati saya bilang tidak, mamah tidak parah seperti itu. Mamah akan lebih baik dibawa pulang ke rumah. Maka, saya menjelaskan kepada bapak saya bahwa baiknya mamah dirawat di rumah saja. Memang, bapak juga menolak adanya cuci darah.

Hari itu kami akhirnya menegaskan bahwa tidak melakukan cuci darah kepada pasien. Semoga apa yang kami putuskan adalah keputusan yang bijak.

Esoknya, saya kembali ke pak Haji dengan keyakinan akan bertemu beliau meminta saran dan arahan. Saya bodoh, saya butuh bimbingan. Dan Allah Maha Baik, saya diberi kesempatan bertemu sehabis solat jumat. Maka saya tunggu saja sampai waktu baik itu tiba. Pak Haji memberi saran obat, dan entah mengapa setelah bicara dengan pak Haji, hati saya jauh lebih baik jauh lebih tenang, ada harapan dan semangat bahwa mamah akan pulih dan baik-baik saja.

Sebelumnya pihak rumah sakit mengabarkan mamah akan dilakukan penyedotan cairan di paru paru dengan cara disuntik. Saya tanyakan ke pak Haji dan diperbolehkan, saya menyetujui dan dokter katakan esok akan dilakukan penyedotan. Hari itu, beban saya sedikit berkurang atau memang kekuatan yang Allah berikan berlipat ganda untuk saya. Melalui pak Haji, ia tenangkan hati saya. Ikhtiar, berdoa dan percaya, saya rasa itu jadi obat yang harus saya makan tiap hari.

[lanjut berikutnya…]

Menyelamatkan Nafas

Saya bertarung dengan pikiran, membayangkan hal paling buruk dan percaya bahwa mamah akan baik-baik saja.

Sesampainya di IGD Siloam Lippo Karawaci, seorang perawat lengkap dengan seragam APD menghampiri saya,

“Selamat pagi, Bu. Siapa yang sakit?”

“Mamah saya, dok.”

“Gejalanya? Di periksa dulu ya saturasinya.”

“Sesak nafasnya, Dok.” kata saya demikian.

“Baik, saya jelaskan ya. Ada 2 ruangan IGD. Ruangan kuning dan merah. Kuning untuk pasien yang tidak dengan gejalan Covid-19, sementara merah dengan gejala Covid. Melihat situasi mamahnya, kami masukan ke ruangan Covid ya, Bu. Kami hanya mampu memberikan oksigen dan infus, tidak ada tindakan lebih lanjut sambil menunggu hasil PCR. Jika negatif bisa dirawat di rumah sakit ini, jika positif akan dirujuk ke rumah sakit lain. Tetapi jika hal perburukan terjadi selama hasil PCR belum keluar, rumah sakit tidak mengambil tindakan lain dan tidak bertanggung jawab ya. Apakah bersedia?”

Saya menoleh ke mamah, menceritakan apa yang disampaikan oleh dokter kepada mamah daam bahasa yang lebih ringkas. Mamah bilang tidak apa-apa. Maka, mamah diperiksa dan dimasukan ke dalam ruang IGD. Saya diminta mengurus berkas-berkas.

Pikiran saya sudah tak tentu, perasaan saya gelisah, panik masih mengepung saya. Bapak dan tetangga saya masih menunggu kurang lebih satu jam, kemudian mereka pulang ke rumah. Saya sendirian di ruang IGD. Bagi keluarga yang dirawat di IGD ruangan Covid tidak diperkenankan masuk ke ruangan. Saya hanya bisa mengintip kaki mamah dari kaca pintu IGD. Setiap sejam sekali, saya menengoknya, hanya melihat kakinya membuat hati saya hancur.

Tak lama kemudian mamah dibawa keluar ruangan untuk di X-Ray. Saya melihatnya dengan air mata mengepung di bawah mata, lalu berteriak, “semangat mah! semangat cembuh ya”. Mamah dibawa masuk lagi.

Saya kembali menunggu. Sendiri. Di ruang tunggu.

Saat sendiri itu, saya hanya bisa berdoa, berdzikir tiada henti dan menangis. Melihat banyaknya orang lalu-lalang di rumah sakit itu, mengingatkan saya pada perjuangan mamah awal ke rumah sakit ini dengan saya. Periksa kesehatannya, operasi payudara, kemoterapi, semua dilakukan dengan penuh semangat dan saat itu ia baik-baik saja. Badannya masih bugar, segar dan tidak kurus. Tetapi kini, saya kembali ke rumah sakit ini, menunggu mamah di IGD, menangis di ruang tunggu. Hari itu menjadi hari yang tak terlupakan bagi saya.

Saya berdiri di depan pintu IGD, berharap akan dapat informasi mengenai mamah, dan akhirnya dokter jaga pertama menginformasikan, paru-paru mamah bermasalah, mungkin karena penyebaran kanker tetapi dia bilang kankernya sudah bersih, bisa jadi karena paru-paru. Dia beri tahu hasil X-Ray mamah. Paru-paru itu penuh dengan kabut putih. Saya tidak mengerti saat itu, bagaimana cara membacanya. Saya hanya mengangguk dan berkata, “oke dokter”. Lalu kembali menunggu-bolak balik ke depan pintu IGD-menangis dan bertanya secara berkala, mamah saya gimana? Dokter bilang, “belum stabil”.

Hingga dokter berganti Shift. Saya bertemu dengan suster yang baik namanya Irvan. Saya tegur dia kenapa makanan mamah masih ada di luar? Apakah mamah tidak mau makan? Lalu dia ambil makanan itu dan mamah disuapi olehnya.

“Gimana sus, keadaan mamah?”

“Belum stabil. Tidur kok sekarang.”

Mamah bahkan tidur dalam keadaan duduk. Dia tidak bisa tidur dengan baik karena sesak. Kondisinya belum membaik juga sampai sore. Dan saya terus menangis. Saya sadar, mamah adalah segalanya bagi hidup saya, saya sadar betapa banyak hal yang belum bisa saya berikan untuknya, apakah ada kesempatan untuk saya memberikan itu? Tolong mamah, ya Allah, tolong mamah, tolong berikan kesempatan untuk saya.

Hingga malam tiba, di pukul 20.00 malam, hasil PCR tak kunjung diinfokan. Saya makin gelisah. Tetapi, suster Irvan ini baik sekali, mungkin akrena kasihan dengan saya, dia mengizinkan saya masuk ke IGD sebentar hanya sekadar melihat keadaan mamah kemudian keluar. Saya melihatnya. Ia duduk tertidur. Wajahnya jauh lebih segar meski sebenarnya masih terlihat sangat lemah. Dia bangun melihat saya dan bilang,

“Idat gapapa masuk? Sebentar aja nanti dimarahin dokter”

“Gapapa udah diijinin”

Tetapi saya kembali keluar. Dan suster mengabarkan kondisi mamah beranjak stabil. Kadar bantuan oksigennya mulai dikurangi perlahan. Tetapi masih perlu dipantau. Hingga kemudian, di jam 23.00, mamah dinyatakan positif. Dia harus dioper ke rumah sakit lain, dan rs rujukan itu adalah Siloam Mampang.

Pihak RS menghubungi saya, dia bilang semua biaya dicover Kemenkes. Lalu itu adalah rs khusus covid. Keluarga pasien tidak bisa memilih rs rujukan, mau tidka mau saya menerima. Saya hubungi keluarga, dan secepat mungkin bapak dan pak RT datang ke RS.

Lalu mamah keluar ruangan, ia siap dibawa ke rs lain. Saya lihat wajahnya lesu. Tetapi saya yakin dalam hatinya selalu ada api semangat. Saya yakin dia akan kuat, meski perasaan saya begitu berkecamuk melawan rasa takut. Dia mampu menghadapi operasi, kemoterapi dan radiasi. Semangatnya untuk sehat selalu begitu terasa. Kali ini, mamah harus lebih semangat, lebih kuat.

Detik-detik mamah akan dibawa ke RS Siloam Mampang

“Semangat ya, Mah! Sebentar lagi sembuh.”

Saya mengikuti ambulance, di dalam mobil perasaan saya masih tidak karuan. Sebuah rasa yang hancur lebur. Kami menuju rs lain berharap waktu kami tepat, berharap Allah menyelamatkan nafasnya, menyelamatkan kehidupan kami.

Kadang, kita harus dibenturkan dengan perasaan demikian, hanya untuk menyadari bahwa kita adalah manusia yang rapuh. Kita perlu menangis, perlu menyadari tidak akan mampu berdiri sendiri, tidak akan ada artinya tanpa seorang ibu, tidak ada menjadi sesuatu bila tanpa restunya. Mamah terus dikasih cobaan berupa penyakit, karena itu saya yakin ini menjadi cara Allah menggugurkan dosa dan mengangkat derajatnya.

Sirene ambulance berkumandang di sepanjang jalanan. Di dalam mobil saya sibuk merapihkan keperluan yang akan dibawa mamah. Konon, keluarga tak boleh menjenguk karena RS Siloam Mampang adalah rs khusus Covid. Semoga ia dirawat dengan baik. Tetapi ternyata, setiap harinya, sejak sampai di rs rujukan, membuat saya jauh lebih terpuruk begitupun mamah…