Kami sampai di Siloam Mampang kurang lebih pukul 00.30. Mamah diturunkan dari ambulance. Saya melambaikan tangan dan tak henti-hentinya berteriak “semangat mak, semangat ya, insya allah cepet sembuh”. Berharap kata-kata itu menjadi penguat untuk mamah dan saya.
Kami masih menunggu di lobby. Tidak ada keluarga yang diperbolehkan masuk karena ini rumah sakit khusus penanganan Covid-19. Seorang dokter datang, laki-laki namanya Niko. Dia memberi paparan yang menyeramkan. Ya entah ada apa dengan rumah sakit, saya selalu gugup mendengar penjelasan dokter. Benar saja, dokter memberi paparan kurang lebihnya begini, mungkin ada sedikit redaksi yang berubah karena persoalan daya ingat.
“Kondisi mamah ini berat, pasien punya komorbid, sesak di paru, dan Covid. Ada berbagai kemungkinan, dia sesak karena paru-paru, atau sel cancer menyebar ke paru-paru. Tapi yang paling utama yang harus ditangani adalah Covid nya terlebih dahulu..”
Saya dan keluarga masih menyimak, dan ia melanjutkan.
“Hal terburukan bisa terjadi, karena itu pasien akan diinfus dengan cairan penopang jantung. Kemungkinan buruknya adalah pasien bisa dipindahkan ke ruang ICU karena alat-alat di ruangan ICU lebih lengkap dari HCU. Dan jika pasien mengalami gagal nafas, akan segera dipakaikan ventilator.”
“Apa itu ventilator?” Saya mulai cemas.
“Oke, saya jelaskan ya, ventilator alat untuk membantu pernafasan pasien. Nanti akan dibolongkan lehernya untuk masuk alat pernafasan itu. Ini kemungkinan paling buruk ya, Bu.”
Saya merinding mendengarnya. Apakah mamah saya separah itu?
Saya tak beri keputusan apapun, ingin sekali berkata “yang terbaik aja buat mamah” tapi ragu saya ucapkan, saya lebih baik berkata dan berdoa kepada Allah saja. Mata saya mulai berat, bukan karena ngantuk tetapi karena sudah amat lelah. Pikiran saya capek sekali dikepung rasa takut yang besar. Selesai menemui dokter dan mendengarkan semua penjelasannya itu, saya diarahkan ke bagian resepsionis untuk mengurus berbagai berkas.
Bertemu dengan bagian resepsionis, tak juga membuat saya nyaman. Di rumah sakit ini hanya berlaku sistem pembayaran Kemenkes yakni serupa BPJS (begitu menurut paparan resepsionis) yang bagi saya sih tak sama. Karena jika pasien sudah dinyatakan negatif Covid, maka pembiayaan ditanggung pribadi oleh pasien atau dirujuk ke rumah sakit lain. Bapak saya bertanya, berapa biaya yang harus dikeluarkan jika itu terpaksa pribadi? Resepsionis bilang kebanyakan diatas 100 juta untuk beberapa hari. Kami lemas. Spontan, bapak bilang ke resepsionis kalau kami tak sanggup bayar segitu. Saya diam saja, tapi pikiran saya terus bekerja bagaimana mensiasati supaya mamah tidak terjebak dalam situasi yang semakin menyakitkan ini.
Begitu selesai menandatangani berkas, bapak ke toilet. Di depan pintu toilet yang sepi kamu duduk. Memandang kaca besar, lemas, sedih, sekaligus bingung. Dari mana saya dapat uang sebanyak itu dalam waktu dekat untuk berjaga-jaga? Ah, nggak. aku harus berpikir lebih taktis dan cerdas. Kami keluar dari gedung, di depan pintu masuk ada tetangga yang ikut ke rumah sakit sedang ngobrol dengan security, saya dan bapak ikutan nimbrung. Dan barulah kami tahu, biasanya yang menginap atau dirawat disitu ada yang bayar sampai 64 juta dalam 3 hari. Tetapi saya punya solusi lain, yakni jika dinyatakan negatif saya akan bawa mamah pulang, atau kalaupun dirujuk–kembali ke rumah sakit awal yang memang menerima BPJS.
Sementara, itulah keputusan sehat yang saya ambil. Kami bergegas pulang. Dalam perjalanan, saya temui sepi, sakit, dan kerinduan yang dalam pada mamah. Sepanjang perjalanan pula saya temui dosa-dosa saya padanya, inikah jalan dan hikmah yang saya dapatkan? Haruskah saya diposisi seperti ini dulu untuk sadar bahwa saya bukan apa-apa tanpa mamah dan menurunkan ego saya untuknya.
Pagi ini saya bangun masih dengan pikiran yang sumpek, hati yang gelisah. Dokter menghubungi saya, katanya mamah harus dipindah ke ICU segera. Saya dan bapak masih menimbang, perasaan ini begitu tak nyaman dan tak percaya. Kami belum menyetujuinya, bahkan ketika diminta persetujaun menggunakan ventilator, semua masih kami gantung.
Pagi itu saya bergegas ke rumah sakit mengantarkan makanan. Kebetulan pula, dokter yang mengurus mamah mau bicara dengan pihak keluarga, bicaralah ia pada saya. Ia katakan bahwa, mamah dalam keadaan tidak stabil. Berulang kali ia menegaskan ventilator, ruang ICU, dan tambahan harus cuci darah karena ginjal bermasalah.
Saya bingung, kenapa tiba tiba ginjal? katanya ada penurunan fungsi ginjal dan air pipisnya sedikit. Lalu dokter katakan, cuci darah satu kali dulu saja, mungkin karena ginjal mengalami syok. Kemudian akan dilihat lagi, jika kondisinya membaik bisa berhenti cuci darah.
Saya melongo, yang saya dengar ini benar? Setahu saya cuci darah seumur hidup. Saya diam saja, mau tahu sampai mana dokter menyampaikan semuanya.
Ternyata sudah dengan menekankan kemungkinan terburukan yang bisa terjadi pada mamah. Bumi seperti rubuh tepat di diri saya. Kemudian saya minta adik mengantar saya ke pak haji di Cijantung. Saya telat tidak ketemu pak Haji, tetapi ketemu asistennya dan beliau bilang bawa pulang mamah.
Saya penasaran sebenarnya sebelum ketemu pak Haji. Saya bingung apakah saya sedang dipermainkan? Kemana saya harus meminta pendapat dan pengetahuan? Tetapi saya bersyukur,teman-teman di jaringan dan pergerakan banyak sekali menolong saya. Mereka memberikan berbagai arahan bahkan kesempatan konsultasi ke dokter lain sehingga saya bisa dapat pertimbangan dan pemahaman. Saya bersyukur dikelilingi orang baik.
Masih di hari yang sama, hari pertama mamah di rs rujukan itu. Kemudian seorang dokter menghubungi kembali dan mempertanyakan pernyataan keluarga soal cuci darah kami masih menolak dan rs masih berusaha menjelaskan kondisinya. Sampai kemudian dokter jaga mengatakan ada kanker paru-paru. Begitu kami pertegas maksudnya kanker paru-paru bagaimana, dokter baru mengatakan ada indikasi ke arah sana. HAH?
Sebenarnya saya udah mulai pusing dengan semua penjelasan dokter. Rasa takut makin besar dan saya tak tahu harus percaya pada hati, atau tidak. Hati saya bilang tidak, mamah tidak parah seperti itu. Mamah akan lebih baik dibawa pulang ke rumah. Maka, saya menjelaskan kepada bapak saya bahwa baiknya mamah dirawat di rumah saja. Memang, bapak juga menolak adanya cuci darah.
Hari itu kami akhirnya menegaskan bahwa tidak melakukan cuci darah kepada pasien. Semoga apa yang kami putuskan adalah keputusan yang bijak.
Esoknya, saya kembali ke pak Haji dengan keyakinan akan bertemu beliau meminta saran dan arahan. Saya bodoh, saya butuh bimbingan. Dan Allah Maha Baik, saya diberi kesempatan bertemu sehabis solat jumat. Maka saya tunggu saja sampai waktu baik itu tiba. Pak Haji memberi saran obat, dan entah mengapa setelah bicara dengan pak Haji, hati saya jauh lebih baik jauh lebih tenang, ada harapan dan semangat bahwa mamah akan pulih dan baik-baik saja.
Sebelumnya pihak rumah sakit mengabarkan mamah akan dilakukan penyedotan cairan di paru paru dengan cara disuntik. Saya tanyakan ke pak Haji dan diperbolehkan, saya menyetujui dan dokter katakan esok akan dilakukan penyedotan. Hari itu, beban saya sedikit berkurang atau memang kekuatan yang Allah berikan berlipat ganda untuk saya. Melalui pak Haji, ia tenangkan hati saya. Ikhtiar, berdoa dan percaya, saya rasa itu jadi obat yang harus saya makan tiap hari.
[lanjut berikutnya…]