Menjelang Satu Tahun Mamah Berpulang

Menjelang satu tahun mamah berpulang,
hati belum juga terasa ringan,
kesedihan masih menggantung di pelupuk mata,
rasa sakit yang undefinisi ini seperti virus yang menemukan inangnya di tubuh saya,

Menjelang satu tahun mamah berpulang,
Capture ketika mamah bernafas untuk terakhir kalinya, pakaian yang ia kenakan, kalimat syahadat yang saya bisikan di telinga kirinya, dan tatapannya yang siap menghadap dan kembali pada Sang Pencipta, menjadi gambar yang abadi dalam hidup saya. Potret yang semesta tinggalkan untuk saya. Kenang-kenangan menyakitkan yang terus terbawa hingga hari ini.

Seharusnya saya bahagia mamah sudah tak sakit lagi. Tentu saja!
Seharusnya saya ikhlas ia kembali pada Sang Pencipta. Tentu saja!
Tapi ditinggal seorang ibu adalah bagian dari kiamat. Bagi anak yang sudah kehilangan ibunya, pasti mengerti ‘rasa sedih’ yang saya maksud.

Menjelang satu tahun mamah berpulang,
saya dimimpikan olehnya dan kakanya (Uwak Nunung yang kini sudah bersama dengan mamah dipangkuan Tuhan). Di alam mimpi itu, saya sedang panik kenapa mamah belum sampai juga di rumah, ia sedang pergi ke rumah Uwak. Lalu, saya telpon uwak,

“Wak, mamah kapan pulang?” kata saya demikian.
Lalu, uwak saya menjawab, “Idat, emak sudah gak ada, sekarang Idat harus siap apa-apa sendiri.”
“Terus pulangnya kapan?” Saya seperti keras kepala terus bertanya kapan mamah saya pulang ke rumah.
“Ya sebentar lagi sampai.” Tutup uwak saya. Tak lama kemudian, mamah datang dengan pakaian serba putih, wajahnya Masya Allah cantik luar biasa, putih bersih dan bersinar, mamahpun tampak muda. Saya menggandeng tangannya, kami berjalan-jalan menyusuri ruas jalan yang entah saya tak begitu ingat dimana.

“Idat, kenapa pegangan tangan terus?” kata mamah
“Gpp, biar mamah gak pergi” kata saya demikian
“Mamah disini terus, gak kemana-mana. Idat yang kuat, jangan cengeng.” Waduh pesan jangan cengeng itu berat banget, ketika saya terbangun saya sangsi apakah saya mampu melakukannya dengan baik?

Menjelang satu tahun mamah berpulang,
Ketika terbangun dari mimpi yang berakhir dengan jalan-jalan, saya sadar bahwa mamah senantiasa ada disini–di hati saya–dalam pandangan saya–dalam senyum dan tetes air mata–dalam kesedihan dan kebahagiaan–di setiap langkah saya–dalam keputusasaan–dalam perjuangan yang melelahkan–dalam keinginan kuat untuk hidup lebih baik demi dirinya.

Menjelang satu tahun mamah berpulang,
Rasanya tidak karuan,
Saya melihat diriku dalam baris-baris sajak Pak Rendra,
Ya Pak Rendra, suaminya bu Ken Zuraida, seorang guru dan ibu yang turut mendidik dan membentuk saya,

hidup memang fana,
tetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak ada
kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara

Sepi dan sendiri,

Alfatihah untuk mamah
Bogor, 17 Desember 2022,
With love D

Tinggalkan komentar