Karya Laksmi A. Savitri
“Namik, nahisa, nahai anim, es anim, nahin, makan dimatab oleb. Mabateme, wanangga es hanid nanggo.”
“Saudara-saudara, mama-mama, kakak-kakak, adik-adik, bapak-bapak, jangan jual tanah untuk perusahaan. Kasihan, itu milik kalian dan anak cucu di masa mendatang.”
Jeremias Ndiken, Kepala Distrik Okaba, 21 Maret 2011
Hari ini ditengah gempuran modernisasi, dalil ‘pembangunan dan kemajuan’, kita harus selalu bertanya pada penguasa, kemana arah kemajuan yang ditawarkan itu? Maju merayakan kehidupan atau mundur membentur kemanusiaan?
Klaim telah menciptakan banyak lapangan pekerjaan–tetapi ternyata banyak juga manusia yang hilang nafkah dan identitasnya demi investasi. Klaim telah menciptakan teknologi dan kemajuan–betul hal itu terjadi di kota yang penuh dengan lampu warna-warni dan kehidupan modern, tetapi ketika kau tengok lebih dalam di bagian hulu, yang ada hanyalah kemiskinan yang berkepanjangan, penyakit yang menjangkit anak-anak sebagai akibat dari disebut oligarki ‘kemajuan’.
Sebuah review
Tak salah saya menyukai mbak Laksmi, setidaknya sejak awal saya mengenal ia ketika bekerja di lembaga yang dinaungi olehnya. Saya suka pemikirannya–saya berada di pihak yang benar. Menurut saya demikian.
#PapuaBukanTanahKosong bukanlah sekadar tagar kampanye semata, itu sebuah kenyataan yang harus dan sangat harus dipahami oleh semua manusia di Republik ini. Jika yang kalian tahu dari Papua hanyalah Raja Ampat, itu hanya sebagian kecil sekali dari potret Papua yang sesungguhnya. Papua, dengan kekayaan Sumber Daya Alam yang melimpah, keanekaragaman hayati, adat budaya, tetapi juga menyimpan persoalan pelik dan air mata yang berkepanjangan.
Di dalam buku ini, mbak Laksmi menceritakan bagaimana proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dijanjikan sebagai mimpi indah di masa depan untuk masyarakat Merauke, hingga kisah sejarah Anim-Ha (Sang Manusia Sejati) dan kenyataan pahit akibat datangnya perusahaan besar di tanah Marind yang merampas masa depan Marind Anim.
MIFEE bukan hanya merupakan salah satu bagian dari satu rancangan percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang disebut sebagai Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MIFEE direncanakan akan menjadi salah satu motor penghasil laba pada koridor ekonomi Maluki Papua, salah satu dari enam koridor yang menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di setiap region. Indonesia ibarat restoran yang siap menjual berbagai macam makanan dan MIFEE adalah salah satu menu yang siap disajikan kepada investor asing dan domestik.
Program Food and Energy Estate didaratkan di Merauke pada 2010 dalam bentuk pengalokasian sekitar 2 juta hektare tanah Merauke untuk dikelola 46 perusahaan menjadi perkebunan skala luas, baik perkebunan padi, tebu maupun perkebuan kayu untuk kebutuhan energi terbarukan (Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah 2010). Persoalan terbesarnya adalah siapa pemilik tanah di Merauke? Kalau pertanyaan ini ditanyakan kepada orang yang hidup di Merauke, tentu jawabannya adalah orang Marind (termasuk orang Yeinan dan Kanum, orang Marind menyebut diri mereka sebagai Anim-Ha, karena hidup bersinergi dan menghormati alam). Tetapi jika ditelusuri dalam kebijakan, jawabannya adalah tanah dikuasai oleh negara.
Ketika negara merasa memiliki dan mengaku sebagai penguasa tanah, disinilah akar persoalannya. Negara menjadi semena-mena. Mengukur semua masyarakat termasuk masyarakat yang hidup berabad-abad di tengah hutan dan menghormati leluhur, semesta alam sama dengan masyarakat modern yang hidup bergantung pada kapitalisme dan pasar.
Karena negara merasa menguasai tanah–ia merasa berhak menjual tanah itu kepada perusahaan. “Jika kau menjual tanah ini, maka kau membantu negara untuk tumbuh”, prek! kenyataannya, jika tanah dijual, maka hidup sengsara sepanjang usia.
Hubungan Spiritual: Totemisme
Dalam realitas keseharian, hubungan yang terjalin antara manusia Marind dan totem-totem telah melahirkan suatu mekanisme timbal balik dengan alam yang setara. Kalaupun hubungan tersebut pada praktiknya menghaslkan sistem yang bisa disebut sebagai pelestarian lingkungan, hal ini hanyalah konsekuensi logis yang muncul dari sistem kehidupan spiritual yang lebih dalam. Perhatian penuh manusia Marind terhadap benda-benda, binatang, tumbuhan dan peristiwa alam yang menjadi totem adalah suatu pemaknaan pada hubungan yang terjalin antara mereka dan dema-dema asal yang mereka yakini, yang ujungnya adalah pertanggung jawaban eksistensial terhadap identitas diri mereka sebagai Anim-Ha (Hal. 21).
Kesadaran demikian, tentu saja tak dimiliki manusia seperti kita yang hidup sudah bergantung pada kondisi pasar hari ini. Lebih jauh jika ditelusuri mungkin, respon kita terhadap tumbuhan, binatang dan peristiwa alam seringkali diabaikan, tak heran banyak manusia-manusia yang semena-mena, merasa dirinya sebagai antroposentris, yakni memandang dirinya sebagai pusat, ekslusif dari pada makhluk lainnya.
Dari buku yang ditulis mbak Laksmi ini, kau akan menemukan kisah yang amat menggeramkan dan menyedihkan dari masyarakat Zanegi, Domande yang telah dirampas tanahnya oleh perusahaan besar Medco dan Rajawali. Misalnya saja begini,
Orang-orang Merauke memberi istilah taktik tipu-tipu atau strategi manipulais sebagai “cara-cara Abunawas”. Jika semakin canggih caranya, dijuluki sebagai “Abuti” atau “Abunawas Tinggi”. Dengan cara Abuti itulah Medco berhasil mengakuisisi 300.000 hektare tanah hanya dengan kompensasi uang Rp 300 juta rupiah yang disebut sebagai uang ketuk pintu, pemberian ganset dan pembangunan gedung gereja. Grup Rajawali juga berhasil melakukan akuisisi tanah di kampung Domande seluas 40.000 hektare dengan besaran uang tali asih 3 miliar rupiah, belum termasuk pembangunan berbagai sarana kampung senilai 4 miliar rupiah; ditambah akuisisi baru seluas 13.800 hektare di kampung Kaliki dengan uang kompensasi 3,5 miliar rupiah (Hal. 62).
Kegiatan yang disebut “sosialisasi” maupun Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) jauh dari memadai untuk menjamin keselamatan hidup masyarakat Anim-Ha. Sosialisasi dilakukan tanpa partisipasi masyarakat Anim-Ha pemilik tanah, di forum itu, janji-janji masa depan cerah disampaikan. Janji itu diantaranya memberikan pendidikan kepada anak-anak Marind; sekolah dan bekerja di kantor, bukan di alam, diberi pelatihan dari tidak tahu menjadi tahu,
Siapa yang menerima keuntungan dari alam yang dibeli paksa itu?
- Para tuan dusun menerima kompensasi kayu Rp. 2.000/meter kubik, tapi kenyataannya diterima Rp. 1.400/meter kubik karena dikurangi 30% dari 100% volume kayu akibat adanya celah pada tumpukan batang kayu dan kayu yang keropos;
- Kontraktor pengawas menerima Rp. 7.000/meter kubik;
- Operator tebang menerima Rp. 20.000/meter kubik;
- Borongan upah kupas kayu menerima Rp.25.000/meter kubik;
- Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua, ekspor kayu serpih yang diproduksi Medco pada 2010 mencapai 135 dollar Amerika Serikat per meter kubik atau setara dengan Rp 12.737.250/meter kubik;
- Volume kayu yang ditebang per hektare sekitar 180 meter kubik. Luasan areal yang sudah ditebang dari 2010 hingga 2011 diperkirakan lebih dari 3.000 hektare sehingga diperkirakan volume kayu yang dihasilkan 540.000 meter kubik dalam 1 tahun. Nilai kayu ini, jika diberi harga sesuai standar harga kayu menurut Surat Keputusan Gubernur Papua N. 184 tahun 2004 tentang dana kompensasi bagi masyarakat atas kayu dan areal hak ulayat, yakni Rp 10.000/meter kubik untuk jenis non kayu merbau, maka menghasilkan Rp. 5.400.000.000 per tahun;
Manusia-manusia Amim-Ha yang dijanjikan dan diberi mimpi cerah itu, pada kenyataannya hingga 2011, 49 pemuda kampung bekerja di perusahaan sebagai Buruh Harian Lepas (BHL).
Masalah lain muncul ketika perusahaan datang adalah ‘warung remang-remang’ yang juga menjadikan seks sebagai komoditas. Penyakit menular pun menghantui masyarakat, untuk kedua kalinya ibu Bidan menemukan 3 mama terindikasi Human Immunodeficiency Virus Infection/Acquired Immunodeficiency Syndrom (HIV/AIDS).
Negara hadir memberikan jaminan kepada korporasi besar merampas tanah ulayat, merampas identitas–kehidupan beserta seluruh mimpi dan cita-cita masyarakat saat itu hingga ke generasi berikutnya, hidup yang layak, hidup yang telah dibangun sinergi dengan alam dirusak dengan cara menghadirkan alat berat, semua diatas namakan “kepentingan nasional”.
Oleh D
Tangerang Selatan, 5 Februari 2024